Slider 1 Slider 2 Slider 3 Slider 4

Evaluasi Program



TEMA
SELEKSI DAN LINGKUP INFORMASI

Pemilihan informasi hendaknya di sesuaikan dengan tujuan evaluasi. ini memiliki arti bahwa seorang evaluator dalam menentukan informasi yang akan di teliti serta kedalaman informasi  harus menitik beratkan pada tujuan dilakukan evaluasi dengan melakukan pemilihan hal-hal yang sangat penting bagi tujuan evaluasi serta mudah untuk dipahami oleh pengguna evaluasi.
Selain harus melakukan seleksi informasi yang akan di teliti ada beberapa variable yang sangat penting yang tidak boleh ditinggalkan diantaranya adalah : efektifitas, efek samping biaya, serta respon masyarakat akan kebutuhan dan kelayakan informasi tersebut.
Seorang evaluator harus mampu membuat skala prioritas dari informasi yang penting . terutama yang terkait dengan tujuan evaluasi serta pengguna informasi. Termasuk memberikan saran kepada pengguna informasi tentang beberapa informasi yang penting dan dibutuhkan.  Evaluator hendaknya melalukan beberapa kajian diantaranya : mereview literature yang bersangkutan, evaluasi sebelumnya, makalah teoritis danlaporan riset untuk membantu mengidentifikasi dan prioritas pertanyaan-pertanyaan yang akan dituju.
Petunjuk :
a)      Adakan interview dengan wakil pengguna evaluasi untuk memperoleh pengertian tentang pandangan mereka mengenai persyaratan informasi pemakai yang berbeda-beda.
b)      Pastikan pertanyaan yang diajukan berhubungan langsung dengan tujuan evaluasi.
c)      Jangan member kesan pada pengamat bahwa semua pertanyaan akan terjawab.
d)     Bertindaklah secara luwes jika ingin menambah pertanyaan.
e)      Minta klien untuk merangking pengamat potensial dalam urutan kepentingan dan bekerja samalah dengan wakil dari pengamat untuk merangkai topik dalam urutan kepentingannya dengan pemakai.
f)       Bekerja sama dengan klien untuk menyatukan topik dari tiap pemakai; untuk memindah soal pada baris bawah daftar;menambah soal yang dipandang perlu.
g)      Distribusikan seluruh usaha evaluasi pada daftar terakhir topik.
Kesulitan :
a)      Gagal mempertimbangkan keabsahan teknis pemakai ketika memutuskan masalah yang harus dikumpulkan,menganilisi, dan mengolahnya.
b)      Mengabaikan penyegaran persyaratan informasi melalui kontak periodic dengan klien.
c)      Mengumpulkan informasi karena mudah dilakukan bukan karena penting.
d)     Gagal mempertimbangkan pertukaran kekomprehensivan dan selektivitas pada setiap evaluasi.
Penanggulangan :
a)      Ketahui bahwa selektivitas bersaing dengan lingkup informasi dan cara menyatukan ialah menyeleksi informasi yang dipandang paling penting.
b)      Tetapkan tujuan utama evaluasi dan ikut kegiatan yang menarik kalau sumber mengijinkan dan kegiatan tersebut mendukung pemahaman ,pengembangan pendidikan, dan evaluasi.
Kasus ilustratif :
            Seorang pemimpin memutuskan mengevaluasi kurikulum dan organisasi SMP daerah itu,dan membentuk panel evaluator yang terdiri dari kepala SD,SMTP, dan SMTA. Mereka diminta menulis laporan lengkap untuk pimpinan selama lima minggu dari mulainya waktu evaluasi itu. Panel evaluator membuat laporan berdasar pengetahuan dan keyakinan tentang sistem sekolah dan kebutuhannya. Laporan itu menyarankan system sekolah berpindah pada organisasi sekolah menengah kelas 6,7,8 pada sekoah menengah dan kelas 9 memasuki sekolah menengah atas.
            Ketika laporan dipublikasikan, para orang tua sekolah dasar dan menengah atas merasa masalah mereka tidak disinggung di dalamnya. Para orang tua siswa menengah  atas cemas terhadap adanya penambahan siswa kelas 9. Wakil dari kedua kelompok mengeluh pada staf sekolah. Akhirnya konsep sekolah menengah hanya impian para pemimpin.
Analisis kasus :
            Para kepala sekolah menunjuk banyak topik,khusunya yang mempertimbangkan waktu yang singkat untuk menyelenggarakan evaluasi. Namun mereka tidak menyinggung pertanyaan yang paling penting. Mereka bias meminta pendapat pada guru,siswa,orang tua dan anggota pengurus sekolah tantang pertanyaan yang diharapkan terjawab, lalu memberikan jawaban yang meyakinkan dalam laporan evaluasi.
            Evaluator juga dapat membandingkan kelebihan dan kekurangan konsep sekolah menengah dengan bentuk lain organisasi sekolah. Dan mempersiapkan dua laporan tentang pro dan kontra tentang sekolah menengah. Laporan pada orang tua bisa terpusat pada kelebihan dan kelemahan pendidikan dari rekomendasinya.

life base leaning pendidikan modern menurut ki hajar dewantoro

 A. Pendahuluan
         Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat. Beliau berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta. Beliau mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat dengan rakyat. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau belajar di STOVIA, tetapi tidak menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia. 
           Ki Hajar Dewantara adalah seorang pahlawan nasional yang banyak memberikan konstribusi pada dunia pendidikan di Indonesia.Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan di Indonesia. Konsep pendidikannya menampilkan kekhasan kultural Indonesia dan menekankan pentingnya pengolahan potensi-potensi peserta didik secara terintegratif. Pada titik itu pula, konsep pendidikannya sungguh kontekstual untuk kebutuhan generasi Indonesia pada masa itu. 
        Di Indonesia, pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan Indonesia. Ia adalah embrio model pendidikan klasik Indonesia yang dulu dipandang cocok dan ideal untuk mengembangkan dan mengaktualkan potensi-potensi generasi muda Indonesia (kognitif, afektif, psikomotorik, konatif) dan aspek-aspek personal lainnya seperti dimensi sosialitas dan spiritualitasnya. Refleksi dan evaluasi atas perkembangan pendidikan Indonesia, dengan segudang persoalannya dewasa ini, mestinya berangkat dari sana. Upaya demikian memang tidak mudah, sebab munculnya persoalanpersoalan pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari kerangka upaya menanggapi tantangan zaman seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara tempo dulu. 
          Dalam dunia pendidikan, ada beberapa ciri ideologi-ideologi mendasar yang diterapkan oleh Kihajar Dewantara yang mungkin berbeda dengan para tokoh pendidikan lainnya. Berikut ini saya jabarkan sembilan tema mendasar dari ideologi yang digunakan oleh Kihajar Dewantara. 
B. Ciri Ideologi Pendidikan Kihajar Dewantara dalam Sembilan Tema Mendasar 
 1. Tujuan Pendidikan 
          Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah penguasaan diri, sebab disinilah pendidikan memanusiakan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia.Pendidikan yang menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara adalah membentuk anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin. Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ini sesuai dengan konsep pendidikan humanistik. Pemikiran pendidikan humanistik Ki Hajar Dewantara dapat dilihat dari pandangan Ki Hajar Dewantara tentang konsep manusia dan pendidikan. Pendidikan humanistik Ki Hajar Dewantara menurut pandangan Islam antara lain meliputi: 
  1. Hakekat manusia yang memiliki kodrat alam yang merupakan potensi dasar manusia yang disejajarkan dengan fitrah manusia; 
  2. Tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara jika dilihat dalam pandangan Islam adalah menjadi manusia yang merdeka dan mandiri sehingga menjadi pribadi yang membuatnya menjadi insan kamil dan mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya; 
  3. Konsep Tut Wuri Handayani yang merupakan bagian dari metode among dalam Islam sama dengan metode keteladanan, metode kisah, metode nasehat, dan metode targhib dan tarhid; 
  4. Pendidikan budi pekerti Ki Hajar Dewantara dalam Islam sama dengan pendidikan akhlak sehingga seseorang menjadi manusia yang dapat menghormati dan menghargai manusia lainnya dan dapat tercipta pendidikan humanistik. 
          Kontribusi pendidikan humanistik Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan nasional antara lain sebagai peletak dasar pendidikan nasional, pencetus konsep pendidikan demokrasi dalam pendidikan yang semuanya terformulasikan dalam slogan pendidikan nasional Tut Wuri Handayani. 
         Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang sangat kompleks tersebut, Ki Hajar Dewantara membagi tugas pada tiga pusat pendidikan yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Ketiga pusat pendidikan tersebut adalah: 
  1. Keluarga buat mendidik budi pekerti dan laku social 
  2. Perguruan, sebagai balai-wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek 
  3. Pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum muda atau “kerajaan pemuda”, untuk melakukan penguasa diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak. 
          Dari penjabaran di atas terlihat bahwa seorang Kihajar Dewantara memiliki sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikannya. Dimana sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikan yaitu mendorong pembaharuan/ perombakan sosial yang perlu dengan cara memaksimalkan kebebasan personal di sekolah dan dengan mengangkat kondisi-kondisi yang lebih berkemanusiaan dan memanusiakan dalam masyarakat secara luas. 
2. Tujuan Sekolah 
          Berbicara soal sekolah, taman siswa adalah nama yang tidak asing buat pendidikan Indonesia. Tamansiswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian Taman Siswa diawali dengan ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, karena jarang sekali negara kolonial yang memberikan fasilitas pendidikan yang baik kepada negara jajahannya. Beliau mendirikan Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesia dan juga sebagai alat perjuangan bagi rakyat Indonesia. Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. 
          Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. 
        Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantar memiliki sifat liberasionisme dalam tujuan sekolahnya. Dimana sifat liberasionisme dalam tujuan sekolah yaitu membantu siswa untuk mengenal dan menanggapi kebutuhan akan pembaharuan sosial yang perlu. Serta menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh siswa supaya bisa belajar sendiri secara efektif. 
3. Ciri - Ciri Umum 
        Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan sistem Trisentra pendidikan atau Sistem Tripusat pendidikan. Pendidikan Taman siswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing individu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang). 
          Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantara memiliki sifat liberasionisme dalam ciri-ciri umum ideologi pendidikannya. Dimana salah satu bentuk sifat liberasionisme yang di anutnya yaitu pendidikan sebagai perwujudan utuh setiap potensi yang ada pada diri setiap orang, sebagai sosok manusia yang berbeda dari manusia lainnya. 
 4. Anak Sebagai Pelajar 
         Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan menempatkan anak didik tidak hanya sebagai obyek pendidikan, akan tetapi juga menempatkan anak didik sebagai subyek pendidikan. Dengan begitu pendidikan tidak boleh merasa kuasa yang bisa berbuat sesuka hati atas anak didik. Sebaliknya, anak didik juga tidak boleh merasa berhak dan berkuasa menuntut pendidik apabila mereka tidak berhasil ketika mereka keluar dari suatu lembaga pendidikan. 
         Kemudian bahan pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa harus sesuai dengan tingkatannya, yakni usia kanak-kanak, usia anak/remaja dan usia dewasa. Kesesuaian mata pelajaran dengan tingkat usia anak ini amat mendapatkan perhatian dan penekanan yang spesifik dari Ki Hajar. 
          Ki Hajar Dewantara memberikan kebebasan siswanya untuk menemukan sendiri makna yang terkandung dalam materi yang di ajarkanya namun tetap melalui bimbingannya. Siswa ditempa secara berulang-ulang agar faham secara keseluruhan karena ia menyadari bahwa setiap siswa memiliki daya nalar yang berbeda-beda. 
          Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara memiliki sifat liberasionisme dalam indikator anak sebagai pelajar dalam ideologi pendidikannya. Dimana salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam indikator anak sebagai pelajar yaitu anak cenderung untuk menjadi baik (yakni menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) jika diasuh dalam masyarakat yang baik (yakni masyarakat yang rasional dan berkemanusiaan). 
5. Administrasi dan Pengendalian Pendidikan 
        Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut Wuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya. 
         Kihajar Dewantara mengendalikan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Sistem pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Kewenangan guru didasarkan pada ketajaman inteleknya dan keterlibatannya secara sosial. 
         Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara menganut sifat liberasionisme dalam indikator administrasi dan pengendalian pendidikan. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam administrasi dan pengendalian pendidikan yaitu kewenangan pendidikan ditanamkan pada minoritas yang tercerahkan yang terdiri dari kaum intelektual yang bertanggung jawab, yang sepenuhnya menyadari adanya kebutuhan objektif untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang bersifat membangun, dan yang mempu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu lewat sekolah-sekolah. Kewenangan guru didasarkan pada ketajaman inteleknya dan keterlibatannya secara sosial. 
6. Sifat-Sifat Hakiki Kurikulum 
        Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hajar dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hajar dengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya. Dalam kaitan ini, Ki Hajar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut: ” Pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan”. 
          Pada bagian berikutnya Ki Hadjar mengatakan: Bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti. Selain mempertimbangkan faktor-faktor keseimbangan hidup sebagaimana tersebut di atas, maka pelajaran (kurikulum) yang diberikan kepada anak didik juga harus bertolak dari kodrat manusia yang memiliki sifat dan ciri-ciri kejiwaan yang sesuai dengan perkembangan usianya. Pemikiran dan gagasan Ki Hajar Dewantara dalam bidang kurikulum terlihat sangat dipengaruhi oleh semangat kemandirian yang dibangunnya dengan bertumpu pada budanya bangsa sendiri, yaitu budaya Indonesia. Sungguhpun ia dibesarkan daalam lingkungan pendidikan Belanda, tapi ia laksana ia dalam laut. Sungguhpun air laut itu asin, tapi ikan tidak asin, kecuali sengaja diasin. Ki Hajar Dewantara memperlihatkan kejeniusan, keorisinalan, dan kemandirinya dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum (mata pelajaran). Ia ingin mandiri dan tidak mau menjiplak produk Belanda. Ia ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia juga dapat mengurus dan merumuskan sendiri tentang pendidikan yang terbaik bagi bangsanya. 
          Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantara menganut sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum. Salah satu bentuk sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum yaitu menekankan pilihan pelajaran dalam batas-batas yang secara umum ditetapkan / baku. 
 7. Mata Pelajaran 
         Sesuai dengan penjelasan kurikulum diatas, Ki Hadjar dewantara menguraikan bahan pelajaran sebagai berikut: 
Pertama, untuk anak usia Taman Kanak-kanak hendakya diajarkan: 
  1. Permainan dan olahraga dengan nyanyian anak-anak dan tari (pemeliharaan badan secara rhytms), 2) Nyanyian rakyat (macapat, tembang, dan gending di tanah Jawa); menggambar corak dan warna, merangkai bunga, menyulam daun pisang yang disobek-sobek atau janur. Latihan ini diberikan untuk kesempurnaan pancaindera yang dihubungkan dengan rasa, 
  2. Cerita yang berwujud dongeng,mitologis dan historis (tambo hanya yang mengenai daerahnya) dihubungkan dengan pelajaran bahasa dan lagu (metode Sari Swara), dan 
  3. Pelajaran mengenal keadaan tempat kelilingnya si anak selaku persediaan pelajaran ilmu alam, ilmu kodrat, ilmu bumi, dan ilmu negeri (kemasyarakatan dan kenasionalan). 
Kedua, untuk taman muda (masa wiraga wirama), hendaknya diberikan pelajaran: 
  1. Olahraga, pencak dan tari, 
  2. Nyanyian (di tanah Jawa: tembang macapat, tembang gede, dan tembang gending), dan buat yang cakap dengan disertai gamelan (instrumental), selanjutnya menggambar menurut kepandaian dan mulai berkenalan dengan alam kesenian Indonesia Raya dan Asia, 
  3. Bahasa dan cerita keseusasteraan, tambo dan keagamaan, mulai dari alam daerah, kemudian alam Indonesia dan akhirnya ikhtisar dari Asia, 
  4. Pengetahuan tentang kodrat alam, bumi, negeri dan pergaulan umum di tanah airnya, di daerah Asia dan di benua lain-lainnya. 
        Ketiga, untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan: 
  1. Olahraga diteruskan dengan tujuan agar dapat mempertahankan diri, 
  2. Tari dilanjutkan nyanyian dan gending, menggambar dan kesenian lain-lainnya dimajukan, mulai belajar mengenal alam kesenian asing (Eropa), 
  3. Bahasa dan cerita keseusasteraan daerah dan Indonesia, bahasa asing yang dapat menghubungkan alam nasional (batin dan lahir) dengan alam dunia (bahasa Inggris), ilmu keagamaan, ”mythen” dan ”legenden” dari luar Indonesia, 
  4. Ilmu negeri dari Indonesia sekarang dan dahulu serta pokok pangkalnya sosiologi dan ekonomi, penuntun anak-anak mengadakan perhimpunan umum, koperasi, perusahaan, majalah, debating club, dan badan pertolongan dan sebagainya. 
        Ki Hadjar juga menganjurkan, sebaiknya setiap pendidikan yang diberikan kepada anak didik itu didasarkan atas ”ilmu syarat-syarat pendidikan”. Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan ”ilmu pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih memakai ilmu-ilmu lainya, sebagaimna tersebut di atas, yaitu ”ilmu syarat-syarat pendidikan” (hulpwetenschappen). Ilmu ini terdiri dari lima jenis, antara lain: (1) ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie), (2) ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie), (3) ilmu keadaan data kesopanan (etika atau moral), (4) ilmu keindahan atau ketertiban lahir (aesthetika), dan (5) ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara pendidikan). Ki Hadjar, dalam menjalankan proses pendidikan di Tamansiswa, juga menggunakan seni sebagai salah satu sarana pendidikan. Dimasukkannya bidang seni dalam kurikulum pendidikannya, hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara intelektualitas dan budi pekerti. Pendidikan seni ini bukannya untuk menjadikan anak didik sebagai seniman, melainkan untuk menghidupkan dan mengembangkan kemampuan penghayatan estetika mereka. Karena melalui seni, muatan pelajaran etika, norma, dan perilaku dapat disampaikan kepada anak didik. Dan menurutnya juga, kesenian yang mempunyai keteraturan (wirama), kelembutan (wirasa), dan keindahan (wiraga) akan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. 
        Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantara menganut sifat liberasionisme dalam mata pelajaran. Salah satu bentuk sifat liberasionisme dalam mata pelajaran yaitu menekankan problema-problema dan isu-isu sosial yang kontroversial; menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan pra anggapan – pra anggapan yang melatarbelakangi kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di kelas dalam kegiatan-kegiatan yang punya arti sosial penting di luar kelas; secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan yang berpusat pada problema, antar disiplin keilmuan yang mencakup wilayah psikologi, filosofi, kesusastraan masa kini, sejarah dan ilmu-ilmu sosial dan behavioral. 
8. Metoda – Metoda Pengajaran 
        Menurut Ki Hajar, yang dimaksud dengan metode pendidikan adalah alat-alat yang pokok atau cara-caranya mendidik. Ia berpendapat, bahwa cara atau metode dalam mendidik anak-anak itu amat banyak, akan tetapi pada inti pokoknya dapat dibagi menjadi lima macam metode, diantaranya: 
a) metode memberi contoh (voorbeeld) 
b) metode pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming) 
c) metode pengajaran (leering, wulang-wuruk) 
d) metode perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht) 
e) metode laku (zelfbeheercshing, zelfdiscipline) 
f) metode pengalaman lahir dan batih (nglakoni, ngrasa, beleving). 
        Sedangkan metode-metode lainnya, yang digagas Ki Hadjar dalam proses pendidikannya, adalah: 
  1. Metode keterampilan (Pekerjaan Tangan). Taman Indrya mulai zaman Belanda, dalam segala pelajaran dan kesibukannya, serta pemberian kesenangan kepada anak-anak, selalu dicari hubungan dan kesesuaian dengan alam anak-anak rakyat sendiri. Misalnya anak-anak dipelajari membuat segala pekerjaan tangan dengan daun-daunan, rumput, lidi, dan lainnya (seperti membuat topi, mahkota, wayang, bungkus ketupat, barang-barang hiasan, dan lain-lain); mengutas bermacam-macam kembang hingga menjadi gelang, kalung dan hiasan-hiasan pakaian lainnya dengan serba indah. Maksud daripada metode tersebut adalah agar anak-anak jangan sampai hidup berpisahan dengan masyarakatnya. 
  2. Metode seni suara, tari, dan drama, dalam kelangsungan penerapan metode ini, Ki Hadjar Dewantara mulai mengarang buku yang diberi judul metode “Nyanyi Jawa” (sari swara), untuk perguruannya Tamansiswa pada tahun 1930. Metode ini, ia tidak diberi nama metode Dewantara, akan tetapi diberi nama metode “sari swara”. 
  3. Metode ”Asah, Asih, Asuh” (care and dedication based on love), metode ini sesuai dengan sistem pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu ”sistem among”. 
  4. Metode ”Tri-Kon” (Kontinu, Konvergen, Konsentris). Pendidikan Ki Hadjar tidak bersifat statis dan konservatif. hal ini dapat dilihat dari teorinya tentang kebudayaan yaitu teori ”Tri-Kon”: (a) Kontinu,maksudnya Kontinu dengan apa yang telah silam, (b) Konvergen, dengan jalannya kebudayaan-kebudayaan lainnya, dan (c) Konsentris, dalam peraturan yang besar, yaitu bersatu namun tetap mempunyai sifat kepribadian. 
  5. Metode ”Tri-Nga”, yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa(memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya. 
  6. Metode ”Tri Pusat Pendidikan (Tri Senta Pendidikan)”, menurut Ki Hadjar Dewantara metode atau proses ”memanusiakan” manusia tersebut harus dilaksanakan di tiga lembaga yaitu lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat yang disebut dengan ”Tri Pusat Pendidikan” atau ”Tri SentraPendidikan”. Ki Gunawan menjelaskan bahwasannya dengan pandanagn seperti itu Ki Hadjar tidak memandang sekolah atau perguruan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mutlak dalam pendidikan seorang anak. Ki Hadjar justru memandang pendidkan sebagai proses yangmelibatkan unsur-unsur lain di luar perguruan menurut kapasitasnya masing-masing.[22] 
  7. Metode natur dan evolusi, Ki Hadjar memberikan komentar bahwa sesungguhnya metode pendidikan Taman Kanak-kanak yang dikemukakan oleh Frobel dan Montesori sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu metode Natur dan Evolusi (kodrat iradat), atau metode kaki among nini among, yaitu metode among siswa. 
        Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki sifat liberasionisme dalam metode pengajaran dan penilaian hasil belajar. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam metode pengajaran dan penilaian hasil belajar yang dianutnya yaitu cenderung ke arah penekanan yang kurang lebih setara terhadap pemahaman tentang problema (pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah (penyelesaiannya), serta memandang guru sebagai model/ panutan tentang komitmen intelektual serta keterlibatan sosial. Selain itu juga cenderung memandang yang kognitif serta yang afektif sebagai sebuah aspek dati yang antar pribadi, menekankan landasan sosial bagi segenap pengalaman personal. 
9. Kendali di Ruang Kelas 
        Pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan karakter. Proses pembelajaran yang bermuatan pendidikan karakter itu dapat kita implementasikan dari ajaran pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Trilogi Pendidikan yang diajarkannya, yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. 
       Guru dituntut untuk seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik. 
       Dalam menyelenggarakan pengajaran dan didikan kepada rakyat, Ki Hajar menganjurkan agar kita tetap memperhatikan ilmu jiwa (psyhologie), ilmu jasmani, ilmu keadaban dan kesopanan (etika dan moral), ilmu estetika, dan menerapkan cara-cara pendidikan yang membangun karakter. 
       Seorang pendidik yang baik, kata Ki Hajar Dewantara, harus tahu bagaimana cara mengajar, memahami karakter peserta didik dan mengerti tujuan pengajaran. Agar dapat mewujudkan hasil didikan yang mempunyai pengetahuan yang mumpuni secara intelektual maupun budi pekerti serta semangat membangun bangsa. 
       Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara memiliki sifat liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas yaitu demokratis dan objektif dalam menentukan tolak ukur kelakuan, seringkali ingin agar siswa menentukan tolak ukur kelakuan mereka sendiri dengan bekerja sama dengan guru, sebagai cara mengembangkan rasa tanggung jawab moral. 
C. Kesimpulan 
        Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya. Karena kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistim pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, di mata Ki Hajar Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat. 
      Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan; kita harus mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan kelangsungan kehidupan batin, kecintaan pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang. Memajukan pertumbuhan budi pekerti- pikiran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, agar pendidikan dapat memajukan kesempurnaan hidup. Yakni: kehidupan yang selaras dengan perkembangan dunia. Tanpa meninggalkan jiwa kebangsaan. 
       Dunia terus mengalami perkembangan, pergaulan hidup antar satu bangsa dengan bangsa lainnya tidak dapat terhindarkan. Pengaruh kebudayaan dari luar semakin mungkin untuk masuk berakulturasi dengan kebudayaan nasional. Oleh karena itu, seperti dianjurkan Ki Hajar Dewantara, haruslah kita memilih mana yang baik untuk menambah kemulian hidup dan mana kebudayaan luar yang akan merusak jiwa rakyat Indonesia dengan selalu mengingat: semua kemajuan dilapangan ilmu pengetahuan harus terorientasikan dalam pembangunan martabat bangsa. 
        Berbagai ideologi pendidikan seiring dengan dasar-dasar teoritisnya masing-masing dalam etika sosial serta filosofi politik. Ideologi pendidikan yang dianut kihajar Dewantara adalah Liberasionisme, yang mana tujuan dari pendidikan seutuhnya adalah memanusiakan manusia dan memanusiakan dalam masyarakat secara luas

Sumber :
http://irmaloebis.blogspot.co.id

Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni:
1. Kontinu
2. Konsentris
3. Konvergen
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu:
1. Alam keluarga
2. Alam perguruan
3. Alam pergerakan pemuda
2. Bidang Pengajaran
Pengajaran merupakan salah satu jalan pendidikan yaitu suatu usaha memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihannya yang perlu dengan maksud memajukan kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti.
Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan konsep-konsep dasar pengajaran meliputi:
1. Teori dasar-ajar
2. Trisakti jiwa
3. Sistem among
Pendidikan zaman sekarang
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.

Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”

Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.
Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!
 
sumber :
 http://www.langkahkebebasan.tk/p/edukasi.html

INOVASI PENDIDIKAN: teori pendidikan modern dengan rasa humanisme jadoel yang sangat penting

INOVASI PENDIDIKAN: teori pendidikan modern dengan rasa humanisme jadoel yang sangat penting

teori pendidikan modern dengan rasa humanisme jadoel yang sangat penting



Ki Hajar Dewantara
 

Teori Pembelajaran Menurut Ki Hajar Dewantara yang mendunia di FINLANDIA


Teori Pembelajaran Menurut Ki Hajar Dewantara
1.                  Teori Konsep Pembelajaran

PENGEMBANGAN TES UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI

A.    Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS) sebagai transfer ilmu pengetahuan
      
          Kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dapat dilihat dari definisi menurut Brookhart (2010:5) yaitu Higher Order thinking  conceived of as the top end of the Bloom’s cognitive taxonomy: Analyze, Evaluate, and Create, or, in the older labguage, Analysis, Synthesis, and Evaluation. The teaching goal behind any of cognitive taxonomy is equipping student to be able to do transfer. ”being able to think” means studenk can apply the knowledge and skill they developed during their learning to new contexts. “New” here means applications that the student has not thought of before, not necessarily something universally new. Higher-order thinking is conceived as students being able to relate their learning to other elements beyond those they were taught to associate with it.
Pernyataan ini merupakan fungsi higher order thinking skill dalam transfer ilmu pengetahuan yang level kemampuan berpikirnya merupakan bagian dari Taxonomy Bloom. Pernyataan tersebut menyiratkan beberapa hal, sebagai berikut: (1) kemampuan berpikir tingkat tinggi berada pada bagian atas taksonomi kognitif Bloom yang meliputi kemampuan analisis, evaluasi dan mencipta, (2)  tujuan pembelajaran dalam taksonomi kognitif adalah membekali peserta agar dapat melakukan proses transfer pengetahuan, dan (3) kemampuan berpikir aartinya pererta didik mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka kembangkan selama mempelajari hal yang baru. “baru” yang dimaksudkan adalah aplikasi konsep yang belum terpikirkan sebelumnya oleh peserta didik, ini artinya belum tentu baru secara menyeluruh. Kemampuan berpikir tingkat tinggi  berarti kemampuan peserta didik  untuk mengaplikasikan dan menghubungkan pembelajaran dengan hal-hal baru yang belum pernah diajarkan.
Higher Order Thinking Skills atau kemampuan berpikir tingkat tinggi pada dasarnya berarti pemikiran yang terjadi pada tingkat tinggi dalam suatu proses kognitif. Menurut taksonomi Bloom yang telah dirievisi keterampilan berpikir pada ranah kognitif terbagi menjadi enam tingkatan, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Syafa’ah & Handayani, 2015). Schraw et al. (2011: 191) mengklasifikasikan keterampilan berpikir yang dimiliki Bloom menjadi dua tingkatan yaitu keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills) yang terdiri atas pengetahuan dan pemahaman, serta keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) yang terdiri atas aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
Setiap tingkat kemampuan berpikir pada taksonomi Bloom membimbing peserta didik untuk menguasai kemampuan yang lebih  tinggi. Namun, pada pendidikan teknik  kemampuan analisis merupakan kemampuan yang harus dikuasai peserta didik karena diharapkan aplikasinya terhadap teori-teori, prinsip-prinsip dan konsep yang mereka pelajari ketika ketika mempelajari berbagai objek. Gambar 1 menunjukan taksomoni Bloom sebelum dan sesudah direvisi. Gambar 1. Taksonomi Bloom (domain kognitif) (Sumber: Narayanan et al., 2015: 2)
Dalam proses pembelajaran untuk memudahkan guru dalam membimbing peserta didik dalam mencapai tiap tingkat dalam taksonomi Bloom khususnya pada level kemampuan berpikir tingkat tinggi yang telah direvisi dapat digunakan Tabel 1. Tabel 1 menjelaskan tiap tingkat HOTS dalam pembelajaran yang akan dicapai dan kata kerja yang dapat digunakan dalam pembelajaran.



Tabel 1. Level HOTS dan Kata Operasional
Tingkat HOTS
Kata Operasional
Analisis: dapatkah peserta didik membedakan antara konsep-konsep yang berbeda?
Menilai, membandingkan, mengkritik, mengurutkan, membedakan, menentukan, mengurutkan
Evaluasi: dapatkah peserta didik membenarkan suatu pernyataan atau pilihan tertentu dengan memberikan alasan
Mengevaluasi, menilai, mengkritik, memilih/menyeleksi, menghubungkan, memberikan pendapat
Mencipta: dapatkah peserta didik membuat atau mengembangkan produk, teori atau sudut pandang baru berdasarkan pembelajaran?
Merakit, mendisgn, merancang, membuat, memformulasikan.
(Sumber: Narayanan et al., 2015: 4)

Selain menurut taksonomi yang direvisi Bloom, ada juga HOT model Heong et al. (2011) yang menyatakan bahwa keterampilan berpikir adalah penting untuk peserta didik dan pendidik terutama di lembaga pendidikan tinggi. Heong et al. (2011) mengindentifikasi 13 keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu: membandingkan (comparing), mengklasifikasi, (classifying), menginduksi (inducing), menyimpulkan (deducing), menganalisis kesalahan (analyzing error), membangun pendukung (constructing support), menganalisis perspektif (analyzing perspective), mengabstraksi (abstracting), mengambil keputusan (making decision), memecahkan masalah (solving problem), menemukan eksperimen (inquiring eksperimen), dan menemukan konsep dalam kerangka dimensi belajar (inventing concept which work within the dimensions of learning framework). Disamping itu, Heong et al. (2011) juga menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi dan jenis kelamin, hasil akademis, dan status sosial ekonomi. Oleh karena itu peserta didik harus belajar keterampilan tberpikir tingkat tinggi untuk membantu mereka memecahkan masalah dalam belajar dan meningkatkan hasil akademik mereka. Dengan demikian, pemahaman dan hasil belajar fisika peserta didik akan meningkat dalam pembelajaran.
Brookhart (2010) menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) artinya peserta didik mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka kembangkan selama belajar pada konteks aplikasi konsep yang belum terpikirkan sebelumnya oleh peserta didik, namun konsep tersebut sudah diajarkan. Berpikir tingkat tinggi berarti kemampuan peserta didik untuk menghubungkan pembelajaran dengan hal-hal lain yang belum pernah diajarkan. Sedangkan menurut Tajularipin Sulaiman et al. (2015) kemampuan berpikir tingkat tinggi mempunyai tiga komponen yaitu kemampuan berpikir, kebiasaan berpikir dan metakognitif. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat ditingkatkan dengan memberikan persoalan berupa open-ended question, tugas dalam kelas dan umpan balik dalam pembelajaran.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) termasuk keterampilan seperti berpikir kreatif dan kritis, analisis, pemecahan masalah dan visualisasi. Keterampilan ini melibatkan mengkategorikan item, membandingkan dan membedakan ide-ide dan teori-teori, mampu menulis serta memecahkan masalah. Di dalam kelas kemampuan dan keterampilan yang mencakup penggunaan HOTS adalah berpikir kompleks yang melampaui mengingat dasar fakta-fakta seperti evaluasi dan penemuan, memungkinkan peserta didik untuk menyimpan informasi dan untuk menerapkan solusi pemecahan masalah untuk masalah dunia nyata. Oleh karena itu, kemampuan berpikir tingkat tinggi dihargai karena diyakini dapat mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan pekerjaan serta kehidupan sehari-hari (Ramos et al., 2013).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah kemampuan menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create) pada bidang fisika. Anderson & Krathwohl (2001:30) mendefinisikan ketiga kemampuan tersebut sebagai berikut:
Analyzing is breaking material concepts into parts, determining how the parts relate or interrelate to one another or to an overall structure or purpose. Evaluating is making judgments based on  kriteria and standards thorough checking and critiguing. Creating is putting element together to form a coherent or functional whole; reorganizing elements into a new pattern or structure thorough generating, plabning and producing.
Definisi tersebut berarti bahwa: (1) menganalisis adalah menguraikan bahan atau konsep ke dalam bagian-bagiannya, menentukan hubungan antar bagian, atau hubungan bagian terhadap struktur atau tujuan secara keseluruhan. Tindakan yang sesuai berupa membedakan, mengorganisasikan, dan menghubungkan, serta mampu membedakan antara komponen atau bagian; (2) Mengevaluasi adalah membuat penilaian berdasarkan kriteria-kriteria dan standar-standar dengan melalui pemeriksaan dan kritik. (3) Menciptakan adalah memasukan elemen untuk membentuk satu kesatuan yang koheren atau fungsional atau melakukan reorganisasi elemen menjadi pola atau struktur baru melalui proses membangkitkan, merencanakan, atau menghasilkan. Kegiatan yang termasuk mencipta adalah mensintesis bagian menjadi sesuatu yang baru, betuk baru atau produk baru.
Kemampuan ini ditunjukan dengan menyelesaikan persoalan fisika dengan menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Kemampuan ini sebenarnya sudah dibiasakan dalam fisika, karena fisika sudah melatih mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, objektif, memutuskan sesuatu berdasarkan data yang tetap dengan menggunakan metode ilmiah, dan kemampuan untuk komunikasi ilmiah. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, ada lima langkah pembelajaran yang dapat ditempuh, yakni: (1) menentukan tujuan pembelajaran, (2) mengajarkan melalui pertanyaan, (3) mempraktikan, (4) menelaah, mempertajam dan meningkatkan pemahaman, dan (5) mempraktikan umpan balik dan menilai pembelajaran (Limbach & Waugh, 2010).
Nitko & Bookhart (2011:223) menjelaskan tentang dasar penilaian kemampuan higher order thinking skillssebagai berikut
A basic rule for assestment of higher order thinking skill is to use tasks tahat require use of knowledge and skills in new or novel situation. If you only asses student s ability to recall what is in the next-book or what you say, you will not know whether they understand or can apply the reasons, explabations, and interpretations. In short, you must use novel materials to asses higher order thinking. One way to do that is use to context-depent butir sets.

Berdasarkan pernyataan tersebut, prinsip dasar untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan higher order thinking adalah menggunakann tugas-tugas yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan di situasi yang baru. Bahan-bahan yang baru harus digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan higher order thinking. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengunakan  set-set butir yang bergantung pada konteks. Untuk menilai kemampuan HOTS peserta didik dibutuhkan sebuah instrumen yang melibat kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah dan kreatifitas yang dapat menantang peserta didik sehingga dibutuhkan instrumen penilaian tertentu yang disusun berdasarkan kompetensi  yang terkait dalam pembelajaran (McNeill et al, 2012).
Instrumen Penilaian HOTS yang dibuat merupakan pengembangan instrumen penilaian kognitif untuk kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik pada materi fisika. Instrumen yang meliputi tes dan pedoman penilaian ini diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Edi Istiyono, Djemari Mardapi dan Suparno (2014) mengenai pengembangan tes kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika (PhysTHOTS) peserta didik SMA. Kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika yang dimaksud terdiri atas kemampuan fisika dalam menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan. Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika terdiri atas tes berbentuk pilihan ganda beralasan yang dinamakan tes kemampuan berpikir tingkat tinggi fisikaPhysics Test for Higher Order Thinking Skills (PhysTHOTS). Kisi-kisi instrumen disusun berdasarkan aspek dan subaspek kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang selanjutnya digunakan untuk menyusun item-item. Instrumen penilaian dalam penelitian yang akan dilakukan diadaptasi berdasarkan PhysTHOTS sebagai instrumen penilaian untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

B.     Kemampuan Berpikir Kritis
Johnson (2009: 183) menyatakan berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis pendapat atau asumsi, dan melakukan ilmiah. Lebih spesifik lagi, Williams (2011) mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir kritis dalam ilmu sains adalah kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang alam semesta. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui serangkaian pengujian hipotesis yang sisematis, sehingga kemampuan berpikir kritis diperlukan agar serangkaian proses tersebut berakhir pada penarikan kesimpulan yang benar. William (2011) berpendapat sains diidentifiksi sebagai tempat yang baik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini dikarenakan hubungan antara pemikiran ilmiah dan kemampuan berpikir kritis.
Cottrell (2005: 1) mengemukakan bahwa “Critical thinking is a cognitive activity, associated with using the mind” yang artinya berpikir kritis merupakan aktifitas kognitif, yaitu berhubungan dengan penggunaan pikiran. Berdasarkan dimensi kognitif Bloom, kemampuan berpikir kritis menempati bagian dimensi analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Tampak bahwa dimensi-dimensi ini diambil dari sistem taksonomi Bloom yang lama. Jika dicocokkan dengan taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson & Krathwohl (2010), maka kemampuan berpikir kritis menempati bagian dimansi analisis (C4), dan evaluasi (C5), karena pada versi revisi, dimensi sintesis diintegrasikan ke dalam dimensi analisis. 
Anderson & Krathwohl (2010) menjelaskan bahwa dimensi analisis merupakan dimensi di mana terjadi pemecahan suatu materi menjadi bagian-bagian yang kecil dalam suatu keterkaitan hubungan antar bagian-bagian tersebut. Dimensi menganalisis meliputi proses kognitif membedakan, mengorganisasi,dan mengatribusikan. Selanjutnya, Anderson & Krathwohl (2010) mendefinisikan dimensi evaluasi sebagai dimensi di mana terjadi pengambilan keputusan berdasarkan kriteria dan standar tertentu. Kriteria-kriteria yang biasanya digunakan yaitu kualitas, efektivitas, efisien, dan konsistensi.  Anderson & Krathwohl menjelaskan lebih lanjut bahwa pada kategori mengevaluasi mencakup proses kognitif yaitu memeriksa keputusan yang telah diambil berdasarkan kriteria internal dan mengkritik keputusan yang diambil berdasarkan kriteria eksternal.
Nitko & Brookhart (2011: 236) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis paling baik diukur dan dinilai dalam konteks pembelajaran tertentu, bukan secara umum. Untuk itu, guru yang berkepentingan mengukur kemampuan berpikir kritis perlu mengejawantahkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis ke dalam konteks materi pembelajaran yang bersangkutan. Selain itu, penting pula menghubungkan materi pembelajaran tersebut dengan kondisi kehidupan keseharian dalam melakukan pengukuran terhadapa kemampuan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis menurut Nitko & Brookhart (2011:234-236) diidentifikasi menjadi lima kategori, yaitu: a) Klarifikasi dasar, b) dukungan dasar, c) menyimpulkan, d) klarifikasi tingkat lanjut, e) strategi dan taktik. Dalam penelitian pengembangan ini, indikator berpikir kritis yang diteliti terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Kategori
Indikator
Contoh indikator soal
Melakukan Klarifikasi dasar
1. Fokus pada pertanyaan
Disajikan sebuah masalah/problem, aturan, kartun, atau eksperimen dan
hasilnya, peserta didik dapat menentukan masalah utama, kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas, kebenaran argumen atau kesimpulan.
2. Menganalisis argumen
Disajikan deskripsi sebuah situasi atau satu/dua argumentasi, peserta didik dapat: (1) menyimpulkan argumentasi secara cepat, (2) memberikan alasan yang mendukung argumen yang disajikan, (3) memberikan alasan tidak mendukung
argumen yang disajikan.
Menilai dukungan dasar
3. Menilai kredibilitas sumber
Disajikan sebuah teks argumentasi, iklan, atau eksperimen dan interpretasinya, peserta didik menentukan bagian yang dapat dipertimbangan untuk dapat dipercaya (atau tidak dapat dipercaya), serta memberikan alasannya.
Membuat Kesimpulan
4. Membuat Kesimpulan secara deduktif
Disajikan sebuah pernyataan yang diasumsikan kepada peserta didik adalah benar dan pilihannya terdiri dari: (1) satu kesimpulan yang benar dan logis, (2) dua atau lebih kesimpulan yang benar dan logis, peserta didik dapat membandingkan kesimpulan yang sesuai dengan pernyataan yang disajikan atau kesimpulan yang harus diikuti.
5. Membuat kesimpulan secara induktif
Disajikan sebuah pernyataan, informasi/data, dan beberapa kemungkinan kesimpulan, peserta didik dapat menentukan sebuah kesimpulan yang tepat dan
memberikan alasannya.
Melakukan klarifikasi tingkat lanjut
6. menilai definisi
Disajikan deskripsi sebuah situasi, pernyataan masalah, dan kemungkinan penyelesaian masalahnya, peserta didik dapat menentukan: (1) solusi yang positif dan negatif, (2) solusi mana yang paling tepat untuk memecahkan masalah
yang disajikan, dan dapat memberikan alasannya.
7. mendefinisikan asumsi 
Disajikan sebuah argumentasi, beberapa pilihan yang implisit di dalam asumsi, peserta didik dapat menentukan sebuah pilihan yang tepat sesuai dengan asumsi.
Menerapkan strategi dan taktik dalam menyelesaikan masalah
8. Mengambil keputusan dalam tindakan
Merumuskan alternatif solusi
Adaptasi dari Nitko & Brookhart (2011: 234-236)
Nitko & Brookhart (2011: 237-239) menambahkan bahwa instrumen tes utuk mengukur kemampuan berpikir kritis adalah berupa tes uraian. Di dalamnya mengandung deskripsi situasi, kemudian diikuti dengan pertanyaan yang mengarah pada indikator kemampuan berpikir kritis tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Mundilarto (2010: 58, 61), yaitu tes berbetuk uraian sangat sesuai untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Kemampuan berpikir kritis termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga tepat bila diukur dengan menggunakan tes uraian. Karena jawaban responden pasti beragam, maka untuk meminimalisir unsur subjektifitas dalam melakukan penilaian, diperlukan rubrik penilaian yang jelas dan rinci.

C.    Kemampuan Berpikir Kreatif
Johnson (2009: 183), berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman yang baru. Johnson (2009) menambahkan bahwa berpikir kreatif merupakan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuat sudut pandang yang menakjubkan, serta membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Berpikir kreatif merupakan kegiatan mental yang menghasilkan sesuatu yang baru hasil dari pengembangan.
Utami Munandar (2002: 37) menyatakan “Beberapa ciri pribadi yang kreatif yaitu: imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam berpikir, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil risiko, dan berani dalam berpendirian dan berkeyakinan”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri kreatif antara lain:
a.       Bebas dalam berpikir dan bertindak
b.      Adanya inisiatif menumbuhkan rasa ingin tahu
c.       Percaya pada diri sendiri
d.      Mempunyai daya imajinasi yang baik
Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif digunakan tes uraian untuk memperoleh data kemampuan berpikir kreatif sebelum dan setelah pembelajaran. Aspek dan indikator keterampilan berpikir kreatif yang diukur dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif (KBK)
Aspek KBK
Indikator
a.      Fluency (Kelancaran)
·         Menjawab dengan sejumlah jawaban jika  ada pertanyaan
·         Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah
b.      Flexibility (Keluwesan)
·         Memberikan bermacam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah
·         Jika diberi suatu masalah biasanya memikirkan bermacam cara yang berbeda untuk menyelesaikannya
·         Menggolongkan hal-hal menurut kategori yang berbeda
c.      Originality (Keaslian)
·         Memikirkan masalah-masalah yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain
·         Setelah membaca atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menemukan penyelesaian yang baru
d.     Elaboration(Keterperincian)
·         Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah
·         Mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain

Definisi dari setiap ciri tersebut menurut Utami Munandar (2002: 192) sebagai berikut: kemampuan berpikir kreatif dalam fisika berdasarkan beberapa pendapat di atas dikelompokkan menjadi empat aspek yaitu (a) fluency(kelancaran), menunjukkan kemampuan peserta didik dalam memberikan banyak ide dan menyelesaikan masalah dengan jawaban yang tepat; (b) flexibility (keluwesan), menunjukkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalah dalam satu cara dan kemudian menggunakan banyak cara; (c) originality (keaslian), kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah menggunakan caranya sendiri; dan (d) elaboration, menunjukkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci. 

D.    Penyusunan Butir Soal yang Menuntut Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Pengembangan butir soal harus mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan, baik untuk penulisan soal secara umum maupun rambu-rambu berdasarkan tingkat berpikir peserta didik yang mengerjakan soal. Dalam pembuatan soal berpikir tingkat tinggi terdapat beberapa kesulitan. Salah satunya kesulitan menentukan perilaku yang diukur dan kesulitan dalam merumuskan masalah yang dijadikan dasar pertanyaan.
Pengembangan soal-soal pembelajaran Fisika untuk mengukur keterampilan analisis, sintesis, evaluasi dapat dilakukan dengan menyajikan stimulus dalam bentuk data percobaan, grafik, gambar suatu fenomena atau deskripsi singkat suatu fenomena yang selanjutnya digunakan siswa untuk menjawab soal. Soal-soal untuk pengujian ini dapat dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda maupun uraian. Teknik penulisan soal berpikir tingkat tinggi secara umum hampir sama dengan teknik penulisan soal-soal biasa tetapi karena peserta didik diuji pada proses analisis, sintesis atau evaluasi, maka pada soal harus ada komponen yang dapat dianalisis, disintesis atau dievaluasi. Komponen ini di dalam soal dikenal dengan istilah stimulus. Selain itu soal-soal fisika juga harus menguji keterampilan proses fisika. Oleh karena itu kata kerja yang dipilih pada ranah kognitif diutamakan yang sesuai dengan keterampilan proses. Untuk soal-soal fisika, guru dapat memilih kata kerja yang sesuai dengan konsep fisika yang dipelajari peserta didik dan sesuai dengan indikator hasil belajar yang diturunkan dari kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik pada setiap konsep fisika.
Dalam menulis soal untuk pengembangan higher order thinking skill (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi terlebih dahulu kita harus mengetahui bahwa berpikir tingkat tinggi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Ada beberapa cara yang dapat dijadikan pedoman oleh para penulis soal untuk menulis butir soal yang menuntut penalaran tinggi. Caranya adalah seperti berikut ini.
1.    Materi yang akan ditanyakan diukur dengan perilaku: pemahaman, penerapan, sintesis, analisis, atau evaluasi (bukan hanya ingatan).
2.    Setiap pertanyaan diberikan dasar pertanyaan (stimulus).
       Agar butir soal yang ditulis dapat menuntut penalaran tinggi, maka setiap butir soal selalu diberikan dasar pertanyaan (stimulus) yang berbentuk sumber/bahan bacaan.
3.    Mengukur kemampuan berpikir kritis.
       Ada 11 kemampuan berpikir kritis yang dapat dijadikan dasar dalam menulis butir soal yang menuntut penalaran tinggi.
a.       Menfokuskan pada pertanyaan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah masalah/problem, aturan, kartun, atau eksperimen dan hasilnya, peserta didik dapat menentukan masalah utama, kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas, kebenaran argumen atau kesimpulan.
b.   Menganalisis argumen
Contoh indikator soal: Disajikan deskripsi sebuah situasi atau satu/dua argumentasi, peserta didik dapat: (1) menyimpulkan argumentasi secara cepat, (2) memberikan alasan yang mendukung argumen yang disajikan, (3) memberikan alasan tidak mendukung argumen yang disajikan.
c.       Mempertimbangkan yang dapat dipercaya
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah teks argumentasi, iklan, atau eksperimen dan interpretasinya, peserta didik menentukan bagian yang dapat dipertimbangan untuk dapat dipercaya (atau tidak dapat dipercaya), serta memberikan alasannya.
d.      Mempertimbangkan laporan observasi
Contoh indikator soalnya: Disajikan deskripsi  konteks, laporan observasi, atau laporan observer/reporter, peserta didik dapat mempercayai atau tidak terhadap laporan itu dan memberikan alasannya.
e.       Membandingkan kesimpulan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah pernyataan yang diasumsikan kepada peserta didik adalah benar dan pilihannya terdiri dari: (1) satu kesimpulan yang benar dan logis, (2) dua atau lebih kesimpulan yang benar dan logis, peserta didik dapat membandingkan kesimpulan yang sesuai dengan pernyataan yang disajikan atau kesimpulan yang harus diikuti.
f.       Menentukan kesimpulan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah pernyataan yang diasumsikan kepada peserta didik adalah benar dan satu kemungkinan kesimpulan, peserta didik dapat menentukan kesimpulan yang ada itu benar atau tidak, dan memberikan alasannya.
g.      Mempertimbangkan kemampuan induksi
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah pernyataan, informasi/data, dan beberapa kemungkinan kesimpulan, peserta didik dapat menentukan sebuah kesimpulan yang tepat dan memberikan alasannya.

h.      Menilai
Contoh indikatornya: Disajikan deskripsi sebuah situasi, pernyataan masalah, dan kemungkinan penyelesaian masalahnya, peserta didik dapat menentukan: (1) solusi yang positif dan negatif, (2) solusi mana yang paling tepat untuk memecahkan masalah yang disajikan, dan dapat memberikan alasannya.
i.        Mendefinisikan Konsep
Contoh indikator soal: Disajikan pernyataan situasi dan argumentasi/naskah, peserta didik dapat mendefinisikan konsep yang dinyatakan.
j.        Mendefinisikan asumsi
Contoh indikator soal Disajikan sebuah argumentasi, beberapa pilihan yang implisit di dalam asumsi, peserta didik dapat menentukan sebuah pilihan yang tepat sesuai dengan asumsi.
k.      Mendeskripsikan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah teks persuasif, percakapan, iklan, segmen dari video klip, peserta didik dapat mendeskripsikan pernyataan yang dihilangkan (Dadan Rosana, 2014: 394-400).

E.     Contoh Soal Kemampuan Berpikir Kritis, Berpikit Kreatif dan HOTS sebagai Transfer Ilmu Pengetahuan berdasarkan Taksonomi Bloom
1.      Contoh Soal Kemampuan Berpikir Kritis dan Berpikit Kreatif
Kemampuan berpikir kritis
Kemampuan berpikir kreatif
Membuat kesimpulan secara induktif
Contoh soal:
Terdapat sebuah pipa mendatar dengan luas penampang yang berbeda yaitu 8 cm2dan 2 cm2 dilengkapi dengan pipa tegak ke atas seperti gambar berikut. 
Jika pipa tersebut dialiri air dengan kecepatan 0,1 m/s masuk pada pipa yang besar. Maka, apakah ketinggian air antara pipa kanan dan kiri sama seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas? Jika berbeda berapa selisih ketinggian air antara kedua kaki tersebut?
Keluwesan
Contoh soal:
Pada tahun 2006 gunung merapi meletus dan mengeluarkan lahar dingin dengan kecepatan aliran 8 m/s pada suatu titik yang diketahui mempunyai tinggi aliran 5 meter dan lebar 15 m.

Erupsi tersebut terjadi selama 4 jam dan lahar dingin sampai ke sungai sehingga merusak desa-desa di sekitar sungai. Dengan melihat data pada kejadian tersebut, pemerintah berencana membuat bendungan penahan lahar (sabo dam) sebanyak 244 buah dengan kapasitas per sabo dam 3.104 m3.  Apakah sabo dam yang dibangun pemerintah cukup untuk menampung keseluruhan lahar dingin yang dimuntahkan oleh gunung merapi?

2.      Contoh Soal untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Transfer Ilmu Pengetahuan
Materi
Aspek
Sub Aspek
Indikator
No Butir Soal
Impus dan Momentum
Men
Cipta
Menghasilkan
Menghasilkan karya alat sederhana (restitusi meter) yang merupakan penerapan tumbukan lenting sebagian
1






Buatlah alat sederhana untuk mengukur koefisien restitusi bola pingpong dengan bahan: (1) pipa kaca 1 meter berlubang-lubang, (2) skala, dan (3) penahan bola.
Langkah-langkah yang mungkin adalah:R
1)         Rangkai alat seperti gambar
2)         Tarik penahan bola agar bola jatuh
3)         ....
4)         Ulangi beberapa kali dengan memindahkan penahan bola pada
lubang di bawahnya
5)         .....

Langkah ke-5 yang sesuai adalah ...
a.       Lakukan dengan membuat grafik tinggi pantulan (h2) sebagai fungsi tinggi mula-mula (h1) maka gradien garis merupakan kuadrat koefisien restitusi
b.      Lakukan dengan menghitung rata-rata tinggi pantulan, kemudian tarik akar dari hasil bagi ratarata tinggi pantulan dengan 1 m nilai ini adalah koefisien restitusi
c.       Lakukan dengan membagi setiap tinggi pantulan dengan tinggi mula-mula, kemudian tarik akar dari hasil bagi tinggi pantulan dengan tinggi mula-mula, kemudian ambil nilai rata-rata yang merupakan koefisien restitusinya
d.      Lakukan pengukuran sekali saja tinggi pantulannya, kemudian bagilah tinggi pantulan dengan 1 m hasilnya ditarik akar. Hasilnya merupakan koefisien restitusi
e.       Lakukan dengan membuat grafik tinggi pantulan (h2) sebagai fungsi tinggi mula-mula (h1) maka slope garis merupakan koefisien restitusi


Alasan

a.       Perbandingan tinggi pantulan dan tinggi mula-mula merupakan akar koefisien restitusi
b.      Gunakan analisis grafis antara tinggi pantulan dan tinggi mula-mula, selanjutnya koefisien restitusinya sama dengan akar gradien garis
c.       Pengukuran tinggi mula-mula dan tinggi pantulan diulang-ulang untuk menentukan rata-rata koefisien restitusinya
d.      Baik pengukuran tinggi mula-mula maupun tinggi pantulan cukup sekali saja
e.       Gunakan analisis grafis antara tinggi pantulan dan tinggi mula-mula, selanjunya koefisien
restitusinya sama dengan gradien garis


Jawaban
Skor
Soal : B
Langkah membuat alat sederhana untuk untuk mengukur koefisien restitusi bola pimpong:
1)      Rangkai alat seperti digambar
2)      Tarik penahan bola agar bola jatuh
3)      Amati tinggi pantulan bola h2
4)      Ulangi beberapa kali dengan memindahkan penahan bola pada lubang dibawahnya
5)      Lakukan dengan membuat grafik h2 sebagai fungsi h1 maka gradien garis merupakan kuadrat koefesien restitusi


Alasan: B
Gunakan analisis grafis antara tinggi pantulan dan tinggi mula-mula, selanjutnya koefesien restitusinya sama dengan akar gradien garis
4
Soal       : B, C, D, E
Alasan   : B
3
Soal       : A
Alasan   : A, C, D, E
2
Soal       : B, C, D, E
Alasan   : A, C, D, E
1

 Daftar Pustaka
Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (Eds). (2010). Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen: revisi taksonomi pendidikan Bloom.(Terjemahan Agung Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Buku asli diterbitkan tahun 2001).
Brookhart, S. M. (2010). How to Assess Higher Order Thinking Skillss in Your Class-room. Alexandria: ASCD.
Cottrell, S. (2005). Critical Thinking Skills, Developing Effective analysis and Argument. New York: Palgrave Macmillan.
Dadan Rosana. 2014. Evaluasi Pembelajaran Sains (Asesmen Pendekatan Saintifik Pembelajaran Terpadu). Yogyakarta: UNY Press.
Edi Istiyono, Djemari Mardapi & Suparno. (2014). Pengembangan Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika (PhysTHOTS) Peserta Didik SMA. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Vol. 14, No.1, p: 1-12.
Elaine B. Johnson. (2014). Contextual Teaching & Learning. Bandung: Kaifa.
Heong, Y.M, et al. (2011). The level of Marzano higher order thinking skillss among technical education students. International Journal of Social Science and humanity. Vol 1, No. 2. pp 121-125.
H. K. Syafa’ah, L. Handayani. (2015). Pengembangan Metacognitive Self–Assessment Untuk Mengukur Keterampilan Berpikir Evaluasi Dalam Membaca Teks Sains Berbahasa Inggris . Unnes Physics Education Journal, Vol. 4, No. 1, p: 43-48.
Limbach, B & Waugh, W. (2010). Developing Higher Level Thinking. Journal of Instructonal Pedagogies. p: 1-9.
McNeill, M., Gosper, M., & Xu, J. (2012). Assessment choices to target higher order learning outcomes: the power of academic empowerment. Research in Learning Technology, Vol.20.
Mundilarto. (2010). Penilaian Hasil Belajar Fisika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Instruksional Sains.

Narayanan, S., & Adithan, M. (2015). Analysis Of Question Papers In Engineering Courses With Respect To Hots (Higher Order Thinking Skills).American Journal of Engineering Education (AJEE), Vol. 6, No. 1, p:1-10.
Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2011). Educational Assessment of Student (6th ed). Boston: Pearson Education.
Ramos J.L.S., Dolipas, B.B., Villamor, B.B. (2013). Higher Order Thinking Skillss and Academic Performance in Physics of College Students: A Regression Analysis. International Journal of Innovative Interdisciplinary Research, Issue 4, p: 48-60.
Schraw, Gregory et al. (2011). Assessment Of Higer Order Thinking Skillss. America: Information Age Publishing.
Sulaiman, T., Ayub, A. F. M., & Sulaiman, S. (2015). Curriculum Change in English Language Curriculum Advocates Higher Order Thinking Skills and Standards-Based Assessments in Malaysian Primary Schools. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 6, No. 2, p: 494-500.
Utami Munandar. (2002). Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
William, J.D. (2011). How science works: Teaching and learning in the science classroom. Chennai: Continuum

Copyright © 2013 INOVASI PENDIDIKAN and Hadi Suryanto.