Teori Pembelajaran Menurut Ki Hajar Dewantara yang mendunia di FINLANDIA
1.
Teori Konsep
Pembelajaran
Pahlawan dan sebagai Pendidik asli Indonesia,Ki Hajar Dewantara
melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia
memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya
menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik
dari masyarakatnya.
Para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna
sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang
Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan
keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai
Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak
Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru
sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan
kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah: tut wuri
handayani. Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Hanya ungkapan tut wuri handayani saja
yang banyak dikenal dalam masyarakat umum. Arti dari semboyan ini secara
lengkap adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di
antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung
tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan
baik).
Ki Hajar Dewantara juga pernah melontarkan konsep
belajar 3 dinding. Yang dimaksud belajar dengan 3 dinding bukanlah belajar
dikelas dengan jumlah dinding 3 buah ( salah satu dari 4 sisi dinding tidak ada
), tetapi konsep tersebut mencerminkan tidak ada batas atau jarak antara di
dalam kelas dengan realita di luar. Belajar bukan sekedar teori dan
praktek disekolah, tetapi juga belajar menghadapi realitas dunia. Sekolah dan
Dunia menurut konsep ini berarti tidak terpisah. Dengan itu diharapkan para
guru mengajarkan ilmu teori serta praktek di dunia dan juga kepada siswa jika
tidak sungkan-sungkan menanyakan apa saja hal yang tidak diketahuinya tentang
dunia kepada guru mereka masing-masing. Tujuan dari konsep ini, agar para
lulusan sekolah dapat mampu hidup dan bisa berbuat banyak setelah lulus dari sekolah.
2.
Pandangan Ki Hajar
Dewatara Terhadap Pendidikan
Pandangan selanjutnya ialah Pandangan Ki Hadjar Dewantara Terhadap
Pendidikan. Menurut beliau, pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia
dalam arti bahwa menjadi manusia yang mandiri agar tidka tergantung kepada
orang lain baik lahir maupun batin.
Ada beberapa falsafah
yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, yaitu :
- Segala
alat, usaha dan juga cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya.
- Kodratnya
itu tersimpan dalam adat istiadat setiap masyarakat dengan berbagai
kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai hidup tertib dan
damai.
- Adat
istiadat sifatnya selalu berubah (dinamis).
- Untuk
mengetahui karateristik masyarakat saat ini diperlukan kajian mendalam
tentang kehidupan masyarakat tersebut di masa lampau, sehingga dapat
diprediksi kehidupan yang akan dating pada masyarakat tersebut.
- Perkembangan
budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, hal ini terjadi
karena pergaulan antar bangsa.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia
dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi
(teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih,
sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya
membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di
dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil
dibuatnya, dan lain-lain. Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan
teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”,
asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang
iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya
sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga
memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau
kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran
hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu
ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah
suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih
dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya.
Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen
secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan;
pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara
masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup
sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta
didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya
dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud
dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
0 comments:
Post a Comment