life base leaning pendidikan modern menurut ki hajar dewantoro
A. Pendahuluan
Sumber :
http://irmaloebis.blogspot.co.id
Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli R.M. Suwardi
Suryaningrat. Beliau berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta.
Beliau mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat
dengan rakyat. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau belajar
di STOVIA, tetapi tidak menamatkannya karena sakit. BeIiau kemudian
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De
Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal,
tulisannya mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat
Indonesia.
Ki Hajar Dewantara adalah seorang pahlawan nasional yang
banyak memberikan konstribusi pada dunia pendidikan di
Indonesia.Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah
menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan di Indonesia. Konsep
pendidikannya menampilkan kekhasan kultural Indonesia dan menekankan
pentingnya pengolahan potensi-potensi peserta didik secara
terintegratif. Pada titik itu pula, konsep pendidikannya sungguh
kontekstual untuk kebutuhan generasi Indonesia pada masa itu.
Di Indonesia, pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan
telah menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan Indonesia. Ia
adalah embrio model pendidikan klasik Indonesia yang dulu dipandang
cocok dan ideal untuk mengembangkan dan mengaktualkan potensi-potensi
generasi muda Indonesia (kognitif, afektif, psikomotorik, konatif) dan
aspek-aspek personal lainnya seperti dimensi sosialitas dan
spiritualitasnya. Refleksi dan evaluasi atas perkembangan pendidikan
Indonesia, dengan segudang persoalannya dewasa ini, mestinya berangkat
dari sana. Upaya demikian memang tidak mudah, sebab munculnya
persoalanpersoalan pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari kerangka
upaya menanggapi tantangan zaman seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar
Dewantara tempo dulu.
Dalam dunia pendidikan, ada beberapa ciri ideologi-ideologi
mendasar yang diterapkan oleh Kihajar Dewantara yang mungkin berbeda
dengan para tokoh pendidikan lainnya. Berikut ini saya jabarkan sembilan
tema mendasar dari ideologi yang digunakan oleh Kihajar Dewantara.
B. Ciri Ideologi Pendidikan Kihajar Dewantara dalam Sembilan Tema Mendasar
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah
penguasaan diri, sebab disinilah pendidikan memanusiakan manusia
(humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang dituju untuk
tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia.Pendidikan yang
menjadi cita-cita Ki Hajar Dewantara adalah membentuk anak didik menjadi
manusia yang merdeka lahir dan batin. Konsep pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara ini sesuai dengan konsep pendidikan humanistik.
Pemikiran pendidikan humanistik Ki Hajar Dewantara dapat dilihat dari
pandangan Ki Hajar Dewantara tentang konsep manusia dan pendidikan.
Pendidikan humanistik Ki Hajar Dewantara menurut pandangan Islam antara
lain meliputi:
- Hakekat manusia yang memiliki kodrat alam yang merupakan potensi dasar manusia yang disejajarkan dengan fitrah manusia;
- Tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara jika dilihat dalam pandangan Islam adalah menjadi manusia yang merdeka dan mandiri sehingga menjadi pribadi yang membuatnya menjadi insan kamil dan mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya;
- Konsep Tut Wuri Handayani yang merupakan bagian dari metode among dalam Islam sama dengan metode keteladanan, metode kisah, metode nasehat, dan metode targhib dan tarhid;
- Pendidikan budi pekerti Ki Hajar Dewantara dalam Islam sama dengan pendidikan akhlak sehingga seseorang menjadi manusia yang dapat menghormati dan menghargai manusia lainnya dan dapat tercipta pendidikan humanistik.
Kontribusi pendidikan humanistik Ki Hajar Dewantara terhadap
pendidikan nasional antara lain sebagai peletak dasar pendidikan
nasional, pencetus konsep pendidikan demokrasi dalam pendidikan yang
semuanya terformulasikan dalam slogan pendidikan nasional Tut Wuri
Handayani.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang sangat kompleks
tersebut, Ki Hajar Dewantara membagi tugas pada tiga pusat pendidikan
yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Ketiga pusat
pendidikan tersebut adalah:
- Keluarga buat mendidik budi pekerti dan laku social
- Perguruan, sebagai balai-wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek
- Pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum muda atau “kerajaan pemuda”, untuk melakukan penguasa diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa seorang Kihajar
Dewantara memiliki sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikannya.
Dimana sifat liberasionisme dalam tujuan pendidikan yaitu mendorong
pembaharuan/ perombakan sosial yang perlu dengan cara memaksimalkan
kebebasan personal di sekolah dan dengan mengangkat kondisi-kondisi yang
lebih berkemanusiaan dan memanusiakan dalam masyarakat secara luas.
2. Tujuan Sekolah
Berbicara soal sekolah, taman siswa adalah nama yang tidak
asing buat pendidikan Indonesia. Tamansiswa berdiri pada 3 Juli 1922,
pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa
dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian Taman Siswa diawali
dengan ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial, karena jarang sekali negara kolonial yang
memberikan fasilitas pendidikan yang baik kepada negara jajahannya.
Beliau mendirikan Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan pemuda
Indonesia dan juga sebagai alat perjuangan bagi rakyat Indonesia. Tujuan
Taman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal
budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun
dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa
ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka
baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini
dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung
sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi,
kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud
pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup
sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang
melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantar memiliki
sifat liberasionisme dalam tujuan sekolahnya. Dimana sifat
liberasionisme dalam tujuan sekolah yaitu membantu siswa untuk mengenal
dan menanggapi kebutuhan akan pembaharuan sosial yang perlu. Serta
menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh
siswa supaya bisa belajar sendiri secara efektif.
3. Ciri - Ciri Umum
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa
menyelanggarakan kerja sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan
masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling
berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem
pendidikan seperti ini yang dinamakan sistem Trisentra pendidikan atau
Sistem Tripusat pendidikan.
Pendidikan Taman siswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam
(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon),
Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing individu dan
kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai
ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap
orang).
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantara
memiliki sifat liberasionisme dalam ciri-ciri umum ideologi
pendidikannya. Dimana salah satu bentuk sifat liberasionisme yang di
anutnya yaitu pendidikan sebagai perwujudan utuh setiap potensi yang ada
pada diri setiap orang, sebagai sosok manusia yang berbeda dari manusia
lainnya.
4. Anak Sebagai Pelajar
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan menempatkan anak didik
tidak hanya sebagai obyek pendidikan, akan tetapi juga menempatkan anak
didik sebagai subyek pendidikan. Dengan begitu pendidikan tidak boleh
merasa kuasa yang bisa berbuat sesuka hati atas anak didik. Sebaliknya,
anak didik juga tidak boleh merasa berhak dan berkuasa menuntut pendidik
apabila mereka tidak berhasil ketika mereka keluar dari suatu lembaga
pendidikan.
Kemudian bahan pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang
perlu diajarkan kepada para siswa harus sesuai dengan tingkatannya,
yakni usia kanak-kanak, usia anak/remaja dan usia dewasa. Kesesuaian
mata pelajaran dengan tingkat usia anak ini amat mendapatkan perhatian
dan penekanan yang spesifik dari Ki Hajar.
Ki Hajar Dewantara memberikan kebebasan siswanya untuk
menemukan sendiri makna yang terkandung dalam materi yang di ajarkanya
namun tetap melalui bimbingannya. Siswa ditempa secara berulang-ulang
agar faham secara keseluruhan karena ia menyadari bahwa setiap siswa
memiliki daya nalar yang berbeda-beda.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara
memiliki sifat liberasionisme dalam indikator anak sebagai pelajar
dalam ideologi pendidikannya. Dimana salah satu bentuk dari sifat
liberasionisme dalam indikator anak sebagai pelajar yaitu anak cenderung
untuk menjadi baik (yakni menginginkan tindakan yang efektif dan
tercerahkan) jika diasuh dalam masyarakat yang baik (yakni masyarakat
yang rasional dan berkemanusiaan).
5. Administrasi dan Pengendalian Pendidikan
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu
suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan
kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus
meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan
pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara
berlakunya disebut Sistem Tut Wuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi
pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut
Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih
didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak
didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik.
Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan
potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk
meluruskannya.
Kihajar Dewantara mengendalikan pendidikan yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru
spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan
diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Sistem
pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan
diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik
untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau
figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Kewenangan guru didasarkan pada ketajaman inteleknya dan keterlibatannya
secara sosial.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara
menganut sifat liberasionisme dalam indikator administrasi dan
pengendalian pendidikan. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme
dalam administrasi dan pengendalian pendidikan yaitu kewenangan
pendidikan ditanamkan pada minoritas yang tercerahkan yang terdiri dari
kaum intelektual yang bertanggung jawab, yang sepenuhnya menyadari
adanya kebutuhan objektif untuk melakukan perubahan-perubahan sosial
yang bersifat membangun, dan yang mempu menanamkan perubahan-perubahan
semacam itu lewat sekolah-sekolah. Kewenangan guru didasarkan pada
ketajaman inteleknya dan keterlibatannya secara sosial.
6. Sifat-Sifat Hakiki Kurikulum
Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hajar dalam
berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara
teknis. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hajar dengan
caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum
dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu
diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya. Dalam kaitan
ini, Ki Hajar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut:
” Pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua.
Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian
juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan
(mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah
mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya
kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi
lapangan kultural dan kemasyarakatan”.
Pada bagian berikutnya Ki Hadjar mengatakan:
Bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan
itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita
jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan
materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun
pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara
pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.
Selain mempertimbangkan faktor-faktor keseimbangan hidup sebagaimana
tersebut di atas, maka pelajaran (kurikulum) yang diberikan kepada anak
didik juga harus bertolak dari kodrat manusia yang memiliki sifat dan
ciri-ciri kejiwaan yang sesuai dengan perkembangan usianya.
Pemikiran dan gagasan Ki Hajar Dewantara dalam bidang kurikulum terlihat
sangat dipengaruhi oleh semangat kemandirian yang dibangunnya dengan
bertumpu pada budanya bangsa sendiri, yaitu budaya Indonesia. Sungguhpun
ia dibesarkan daalam lingkungan pendidikan Belanda, tapi ia laksana ia
dalam laut. Sungguhpun air laut itu asin, tapi ikan tidak asin, kecuali
sengaja diasin. Ki Hajar Dewantara memperlihatkan kejeniusan,
keorisinalan, dan kemandirinya dalam menyusun dan mengembangkan
kurikulum (mata pelajaran). Ia ingin mandiri dan tidak mau menjiplak
produk Belanda. Ia ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia juga dapat
mengurus dan merumuskan sendiri tentang pendidikan yang terbaik bagi
bangsanya.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantara
menganut sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum. Salah satu
bentuk sifat liberasionisme dalam sifat-sifat kurikulum yaitu menekankan
pilihan pelajaran dalam batas-batas yang secara umum ditetapkan /
baku.
7. Mata Pelajaran
Sesuai dengan penjelasan kurikulum diatas, Ki Hadjar dewantara menguraikan bahan pelajaran sebagai berikut:
Pertama, untuk anak usia Taman Kanak-kanak hendakya diajarkan:
- Permainan dan olahraga dengan nyanyian anak-anak dan tari (pemeliharaan badan secara rhytms), 2) Nyanyian rakyat (macapat, tembang, dan gending di tanah Jawa); menggambar corak dan warna, merangkai bunga, menyulam daun pisang yang disobek-sobek atau janur. Latihan ini diberikan untuk kesempurnaan pancaindera yang dihubungkan dengan rasa,
- Cerita yang berwujud dongeng,mitologis dan historis (tambo hanya yang mengenai daerahnya) dihubungkan dengan pelajaran bahasa dan lagu (metode Sari Swara), dan
- Pelajaran mengenal keadaan tempat kelilingnya si anak selaku persediaan pelajaran ilmu alam, ilmu kodrat, ilmu bumi, dan ilmu negeri (kemasyarakatan dan kenasionalan).
Kedua, untuk taman muda (masa wiraga wirama), hendaknya diberikan pelajaran:
- Olahraga, pencak dan tari,
- Nyanyian (di tanah Jawa: tembang macapat, tembang gede, dan tembang gending), dan buat yang cakap dengan disertai gamelan (instrumental), selanjutnya menggambar menurut kepandaian dan mulai berkenalan dengan alam kesenian Indonesia Raya dan Asia,
- Bahasa dan cerita keseusasteraan, tambo dan keagamaan, mulai dari alam daerah, kemudian alam Indonesia dan akhirnya ikhtisar dari Asia,
- Pengetahuan tentang kodrat alam, bumi, negeri dan pergaulan umum di tanah airnya, di daerah Asia dan di benua lain-lainnya.
Ketiga, untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan:
- Olahraga diteruskan dengan tujuan agar dapat mempertahankan diri,
- Tari dilanjutkan nyanyian dan gending, menggambar dan kesenian lain-lainnya dimajukan, mulai belajar mengenal alam kesenian asing (Eropa),
- Bahasa dan cerita keseusasteraan daerah dan Indonesia, bahasa asing yang dapat menghubungkan alam nasional (batin dan lahir) dengan alam dunia (bahasa Inggris), ilmu keagamaan, ”mythen” dan ”legenden” dari luar Indonesia,
- Ilmu negeri dari Indonesia sekarang dan dahulu serta pokok pangkalnya sosiologi dan ekonomi, penuntun anak-anak mengadakan perhimpunan umum, koperasi, perusahaan, majalah, debating club, dan badan pertolongan dan sebagainya.
Ki Hadjar juga menganjurkan, sebaiknya setiap pendidikan yang
diberikan kepada anak didik itu didasarkan atas ”ilmu syarat-syarat
pendidikan”. Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang bersandar
atas pengetahuan, yang dinamakan ”ilmu pendidikan”. Ilmu ini tidak
berdiri sendiri, akan tetapi masih memakai ilmu-ilmu lainya, sebagaimna
tersebut di atas, yaitu ”ilmu syarat-syarat pendidikan”
(hulpwetenschappen). Ilmu ini terdiri dari lima jenis, antara lain:
(1) ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie),
(2) ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie),
(3) ilmu keadaan data kesopanan (etika atau moral),
(4) ilmu keindahan atau ketertiban lahir (aesthetika), dan
(5) ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara pendidikan).
Ki Hadjar, dalam menjalankan proses pendidikan di Tamansiswa, juga
menggunakan seni sebagai salah satu sarana pendidikan. Dimasukkannya
bidang seni dalam kurikulum pendidikannya, hal ini bertujuan untuk
menyeimbangkan antara intelektualitas dan budi pekerti. Pendidikan seni
ini bukannya untuk menjadikan anak didik sebagai seniman, melainkan
untuk menghidupkan dan mengembangkan kemampuan penghayatan estetika
mereka. Karena melalui seni, muatan pelajaran etika, norma, dan perilaku
dapat disampaikan kepada anak didik. Dan menurutnya juga, kesenian yang
mempunyai keteraturan (wirama), kelembutan (wirasa), dan keindahan
(wiraga) akan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Kihajar Dewantara
menganut sifat liberasionisme dalam mata pelajaran. Salah satu bentuk
sifat liberasionisme dalam mata pelajaran yaitu menekankan
problema-problema dan isu-isu sosial yang kontroversial; menekankan
pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan pra anggapan – pra
anggapan yang melatarbelakangi kepedulian khusus terhadap penerapan apa
yang dipelajari di kelas dalam kegiatan-kegiatan yang punya arti sosial
penting di luar kelas; secara tipikal menampilkan pendekatan-pendekatan
yang berpusat pada problema, antar disiplin keilmuan yang mencakup
wilayah psikologi, filosofi, kesusastraan masa kini, sejarah dan
ilmu-ilmu sosial dan behavioral.
8. Metoda – Metoda Pengajaran
Menurut Ki Hajar, yang dimaksud dengan metode pendidikan adalah
alat-alat yang pokok atau cara-caranya mendidik. Ia berpendapat, bahwa
cara atau metode dalam mendidik anak-anak itu amat banyak, akan tetapi
pada inti pokoknya dapat dibagi menjadi lima macam metode, diantaranya:
a) metode memberi contoh (voorbeeld)
b) metode pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
c) metode pengajaran (leering, wulang-wuruk)
d) metode perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht)
e) metode laku (zelfbeheercshing, zelfdiscipline)
f) metode pengalaman lahir dan batih (nglakoni, ngrasa, beleving).
Sedangkan metode-metode lainnya, yang digagas Ki Hadjar dalam proses pendidikannya, adalah:
- Metode keterampilan (Pekerjaan Tangan). Taman Indrya mulai zaman Belanda, dalam segala pelajaran dan kesibukannya, serta pemberian kesenangan kepada anak-anak, selalu dicari hubungan dan kesesuaian dengan alam anak-anak rakyat sendiri. Misalnya anak-anak dipelajari membuat segala pekerjaan tangan dengan daun-daunan, rumput, lidi, dan lainnya (seperti membuat topi, mahkota, wayang, bungkus ketupat, barang-barang hiasan, dan lain-lain); mengutas bermacam-macam kembang hingga menjadi gelang, kalung dan hiasan-hiasan pakaian lainnya dengan serba indah. Maksud daripada metode tersebut adalah agar anak-anak jangan sampai hidup berpisahan dengan masyarakatnya.
- Metode seni suara, tari, dan drama, dalam kelangsungan penerapan metode ini, Ki Hadjar Dewantara mulai mengarang buku yang diberi judul metode “Nyanyi Jawa” (sari swara), untuk perguruannya Tamansiswa pada tahun 1930. Metode ini, ia tidak diberi nama metode Dewantara, akan tetapi diberi nama metode “sari swara”.
- Metode ”Asah, Asih, Asuh” (care and dedication based on love), metode ini sesuai dengan sistem pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara, yaitu ”sistem among”.
- Metode ”Tri-Kon” (Kontinu, Konvergen, Konsentris). Pendidikan Ki Hadjar tidak bersifat statis dan konservatif. hal ini dapat dilihat dari teorinya tentang kebudayaan yaitu teori ”Tri-Kon”: (a) Kontinu,maksudnya Kontinu dengan apa yang telah silam, (b) Konvergen, dengan jalannya kebudayaan-kebudayaan lainnya, dan (c) Konsentris, dalam peraturan yang besar, yaitu bersatu namun tetap mempunyai sifat kepribadian.
- Metode ”Tri-Nga”, yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa(memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
- Metode ”Tri Pusat Pendidikan (Tri Senta Pendidikan)”, menurut Ki Hadjar Dewantara metode atau proses ”memanusiakan” manusia tersebut harus dilaksanakan di tiga lembaga yaitu lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat yang disebut dengan ”Tri Pusat Pendidikan” atau ”Tri SentraPendidikan”. Ki Gunawan menjelaskan bahwasannya dengan pandanagn seperti itu Ki Hadjar tidak memandang sekolah atau perguruan sebagai lembaga yang mempunyai otoritas mutlak dalam pendidikan seorang anak. Ki Hadjar justru memandang pendidkan sebagai proses yangmelibatkan unsur-unsur lain di luar perguruan menurut kapasitasnya masing-masing.[22]
- Metode natur dan evolusi, Ki Hadjar memberikan komentar bahwa sesungguhnya metode pendidikan Taman Kanak-kanak yang dikemukakan oleh Frobel dan Montesori sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu metode Natur dan Evolusi (kodrat iradat), atau metode kaki among nini among, yaitu metode among siswa.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan memiliki
sifat liberasionisme dalam metode pengajaran dan penilaian hasil
belajar. Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam metode
pengajaran dan penilaian hasil belajar yang dianutnya yaitu cenderung ke
arah penekanan yang kurang lebih setara terhadap pemahaman tentang
problema (pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah
(penyelesaiannya), serta memandang guru sebagai model/ panutan tentang
komitmen intelektual serta keterlibatan sosial. Selain itu juga
cenderung memandang yang kognitif serta yang afektif sebagai sebuah
aspek dati yang antar pribadi, menekankan landasan sosial bagi segenap
pengalaman personal.
9. Kendali di Ruang Kelas
Pendidikan pada akhirnya adalah pembangunan karakter. Proses
pembelajaran yang bermuatan pendidikan karakter itu dapat kita
implementasikan dari ajaran pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara melalui Trilogi Pendidikan yang diajarkannya, yaitu ing ngarsa
sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Guru dituntut untuk seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni
seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut
wuri handayani. Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus
bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah
atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing
ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan
atau contoh tindakan yang baik).
Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Dalam menyelenggarakan pengajaran dan didikan kepada rakyat, Ki
Hajar menganjurkan agar kita tetap memperhatikan ilmu jiwa (psyhologie),
ilmu jasmani, ilmu keadaban dan kesopanan (etika dan moral), ilmu
estetika, dan menerapkan cara-cara pendidikan yang membangun karakter.
Seorang pendidik yang baik, kata Ki Hajar Dewantara, harus tahu
bagaimana cara mengajar, memahami karakter peserta didik dan mengerti
tujuan pengajaran. Agar dapat mewujudkan hasil didikan yang mempunyai
pengetahuan yang mumpuni secara intelektual maupun budi pekerti serta
semangat membangun bangsa.
Dari penjabaran di atas terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara
memiliki sifat liberasionisme dalam indikator kendali di ruang kelas.
Salah satu bentuk dari sifat liberasionisme dalam indikator kendali di
ruang kelas yaitu demokratis dan objektif dalam menentukan tolak ukur
kelakuan, seringkali ingin agar siswa menentukan tolak ukur kelakuan
mereka sendiri dengan bekerja sama dengan guru, sebagai cara
mengembangkan rasa tanggung jawab moral.
C. Kesimpulan
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan
sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian dan kemerdekaan
batin bangsa Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela
perjuangan bangsanya. Karena kemerdekaan menjadi tujuan pelaksanaan
pendidikan, maka sistim pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan
jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, di mata Ki Hajar Dewantara, bahan-bahan
pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai
paksaan; kita harus mengunakan dasar tertib dan damai, tata tentram dan
kelangsungan kehidupan batin, kecintaan pada tanah air menjadi
prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Memajukan pertumbuhan budi pekerti-
pikiran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, agar
pendidikan dapat memajukan kesempurnaan hidup. Yakni: kehidupan yang
selaras dengan perkembangan dunia. Tanpa meninggalkan jiwa kebangsaan.
Dunia terus mengalami perkembangan, pergaulan hidup antar satu
bangsa dengan bangsa lainnya tidak dapat terhindarkan. Pengaruh
kebudayaan dari luar semakin mungkin untuk masuk berakulturasi dengan
kebudayaan nasional. Oleh karena itu, seperti dianjurkan Ki Hajar
Dewantara, haruslah kita memilih mana yang baik untuk menambah kemulian
hidup dan mana kebudayaan luar yang akan merusak jiwa rakyat Indonesia
dengan selalu mengingat: semua kemajuan dilapangan ilmu pengetahuan
harus terorientasikan dalam pembangunan martabat bangsa.
Berbagai ideologi pendidikan seiring dengan dasar-dasar
teoritisnya masing-masing dalam etika sosial serta filosofi politik.
Ideologi pendidikan yang dianut kihajar Dewantara adalah Liberasionisme,
yang mana tujuan dari pendidikan seutuhnya adalah memanusiakan manusia
dan memanusiakan dalam masyarakat secara luasSumber :
http://irmaloebis.blogspot.co.id
0 comments:
Post a Comment