teori pendidikan modern dengan rasa humanisme jadoel yang sangat penting
Ki Hajar Dewantara
A.
Pendahuluan
1.
Sejarah
Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir
di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun
Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Oleh karena itu, nama
Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki
kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan
manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang
merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita
juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
2. Perjuangan
Ki Hajar Dewantara
Perjalanan hidupnya
benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat
melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena
sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai
seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada
tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Selain itu ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai
komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik
lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat
dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah
merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja
sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan
lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku
dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander
diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu,
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu
sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang
untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker
dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak
Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak
pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering.
Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau
Banda.
Namun mereka menghendaki
dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal
dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak
Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian
ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari
pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah
perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
B. Ki Hajar Dewantara
Mengenai Perjuangan Pendidikan Di Indonesia
Tidak sedikit rintangan
yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.
Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Sementara itu, pada
zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki
hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai
seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan
sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305
Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah
gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah
mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta,
untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri
Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa
karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat
semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai
seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan
Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu
mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa
secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat,
kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut
wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan
memberi teladan).
C. Teori Pembelajaran
Menurut Ki Hajar Dewantara
1.
Teori Konsep Pembelajaran
Pahlawan dan sebagai
Pendidik asli Indonesia,Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi
kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta,
karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua
daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya
saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Oleh karena itu, nama
Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang
memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah
sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara
antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai
pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah
berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa
keselamatan.
Semboyan dalam
pendidikan yang beliau pakai adalah: tut wuri handayani. Semboyan ini berasal
dari ungkapan aslinya Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani. Hanya ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam
masyarakat umum. Arti dari semboyan ini secara lengkap adalah: tut wuri
handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan
arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus
menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang
pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).
Ki
Hajar Dewantara juga pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Yang dimaksud
belajar dengan 3 dinding bukanlah belajar dikelas dengan jumlah dinding 3 buah
( salah satu dari 4 sisi dinding tidak ada ), tetapi konsep tersebut
mencerminkan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di
luar. Belajar bukan sekedar teori dan praktek disekolah, tetapi juga
belajar menghadapi realitas dunia. Sekolah dan Dunia menurut konsep ini berarti
tidak terpisah. Dengan itu diharapkan para guru mengajarkan ilmu teori serta
praktek di dunia dan juga kepada siswa jika tidak sungkan-sungkan menanyakan
apa saja hal yang tidak diketahuinya tentang dunia kepada guru mereka
masing-masing. Tujuan dari konsep ini, agar para lulusan sekolah dapat mampu
hidup dan bisa berbuat banyak setelah lulus dari sekolah.
2.
Pandangan
Ki Hajar Dewatara Terhadap Pendidikan
Pandangan selanjutnya
ialah Pandangan Ki Hadjar Dewantara Terhadap Pendidikan. Menurut beliau,
pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi
manusia yang mandiri agar tidka tergantung kepada orang lain baik lahir maupun
batin.
Ada beberapa falsafah yang dikemukakan oleh Ki
Hadjar Dewantara tentang pendidikan, yaitu :
a.
Segala
alat, usaha dan juga cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya.
b. Kodratnya
itu tersimpan dalam adat istiadat setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan,
yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai hidup tertib dan damai.
c.
Adat
istiadat sifatnya selalu berubah (dinamis).
d. Untuk
mengetahui karateristik masyarakat saat ini diperlukan kajian mendalam tentang
kehidupan masyarakat tersebut di masa lampau, sehingga dapat diprediksi
kehidupan yang akan dating pada masyarakat tersebut.
e. Perkembangan
budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, hal ini terjadi
karena pergaulan antar bangsa.
D. Pemikiran Ki Hajar
Dewantara Tentang Pendidikan
Pada jaman kemajuan
teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh
pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak
orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek
lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain,
perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai
sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. Di
tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin
bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan
penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih,
sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi
manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan
dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek
individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai
masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan
kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta
didik.
Manusia merdeka adalah tujuan
pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun
kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini
mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi,
kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian
Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan
mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan
yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan
filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya
adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis,
ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam
(natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip
dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan,
keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang
dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya.
Maka
hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta
didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual;
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan
memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap
individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap
dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri,
mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya
rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para
peserta didiknya.
Peserta
didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat
fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode
yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah
seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek
kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap
orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu
“educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian
Sumber :
0 comments:
Post a Comment